Senin, 07 Desember 2015

Makalah parasitologi (penyakit akibat entomology ~Taeniasis)

Share your information Share your knowledge


Share MAKALAH PARASITOLOGI


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Dewasa kini, berbagai masalah kesahatan di masyarakat semakin kompleks dan beragam. Permasalahan kesehatan yang sering terjadi di masyarakat tersebut, sering kali disebabkan oleh hewan-hewan yang ada disekitar manusia. Salah satu hewan yang dapat membawa dan menyebabkan penyakit kepada manusia ialah sekelompok hewan yang termasuk dalam kategori serangga dalam hal ini khususnya adalah kelas antrophoda.
Sejatinya tidak semua hewan yang termasuk kategori serangga dapat membawa penyakit dan memyebabkan penyakit pada manusia. Hal tersebut dikarenakan serangga-serangga tersebut mempunyai racun (toksik) yang dapat menimbulkan penyakit dan kesakitan pada manusia. Salah satu contoh antrophoda yang dapat menyebabkan penyakit taeniasis yang disebabkan oleh cacing Taenia sp.
Oleh karena itu, pada makalah ini akan dibahas lebih lanjut megenai penyakit taeniasis yang disebabkan oleh cacing Taenia sp. Selanjutnya makalah ini juga akan berisi mengenai epidemiologi, siklus hidup, gejala klinis, pengobatan dan pencegahannya.
B.       Rumusaan Masalah
1.        Apa penyebab penyakit taeniasis?
2.        Bagaimana epdemiologi, gejala klinis  dan siklus hidup penyakit taeniasis?
3.        Bagaimana cara pencegahan dan pengobatan penyakit taeniasis?
C.      Tujuan
1.        Untuk mengetahui penyebab penyakit taeniasis.
2.        Untuk mengetahui epdemiologi, gejala klinis dan siklus hidup penyakit taeniasis.
3.        Untuk mengetahui cara pencegahan dan pengobatan penyakit taeniasis.


BAB II
PEMBAHASAN
  1. Penyebab Penyakit Taeniasis
Taeniasis adalah penyakit cacing pita yang disebabkan oleh cacing Taenia dewasa, sedangkan sistiserkosis adalah penyakit pada jaringan lunak yang disebabkan oleh larva dari salah satu spesies cacing Taenia. Taeniasis dan sistiserkosis dapat terjadi akibat pemeliharaan ternakyang tidak dikandangkan,pengolahan makanan yang kurang matang,sanitasi lingkungan yang kurang baik, defekasi yang tidak dilakukan pada tempatnya, dan rendahnya pemahaman masyarakat tentang kesehatan lingkungan. Taeniasis tersebar di seluruh dunia dan sering dijumpai pada orang-orang yang selalu mengonsumsi daging sapi atau daging babi mentah atau yang dimasak kurang sempurna. [1]
“Kondisi kebersihan lingkungan yang kurang baik akibat belum adanya kesadaran masyarakat untuk melakukan defekasi pada tempatnya, dapat menyebabkan kontaminasi pada makanan sapi dan babi, sehingga terjaditaeniasis dan sistiserkosis. Daerah yang endemic untuk kedua penyakit ini adalah Sumatera Utara, Papua dan Bali”.( Margono etal. 2001).

Penularan sistiserkosis dapat melalui makanan atau minuman yang tercemar oleh telur cacing Taeniaspp. Penularan juga bisa terjadi secara autoinfeksi akibat kurangnya kebersihan. Diagnosis taeniasis berdasarkan penemuan telur cacing atau proglotid dalam feses manusia. Diagnosis pada hewan hidup dapat dilakukan dengan palpasi pada lidah untuk menemukan adanya kista atau benjolan. Uji serologik bisa juga membantu dalam mendiagnosis sistiserkosis pada manusia ataupun hewan. Cacing pita dewasa di dalam usus dapat dibunuh dengan pemberian obat cacing dan pencegahannya dengan menghindari daging mentah atau daging yang kurang matang, baik daging babi untuk T. solium dan T. asiatica, dan daging sapi untuk T. saginata. Selain itu, untuk mencegah terjadinya infeksi Taenia solium, T. saginata atau T. asiatica, ternak babi ataupun sapi dijauhkan dari tempat pembuangan feses manusia.[2]
  1. Epidemiologi, Gejala Klinis dan Siklus Hidup Taeniasis
  1. Epidemiologi Taeniasis
Taeniasis dan sistiserkosis merupakan penyakit yang menyerang masyarakat dengan tingkat ekonomi rendah, seperti yang dikonfirmasi pada statistika yaitu daerah dengan standar kehidupan yang rendah. Negara Indonesia merupakan negara dengan mayoritas penduduk  merupakan masyarakat beragama muslim dan tidak mengkonsumsi daging babi. Namun, ada beberapa daerah, seperti Bali dan Papua, yang banyak mengkonsumsi daging babi. Sampai saat ini, Papua masih menjadi daerah endemik taeniasis dan sistiserkosis. (Provinsi Papua, tepatnya di Kabupaten Jayawijaya, memiliki prevalensi taeniasis solium sebesar 15% (Subahar et al., 2005). Sedangkan di Bali, dahulu merupakan daerah endemis bagi taeniasis dan sistiserkosis, telah dilakukan penghentian transmisi dari sistiserkosis (WHO, 2009).
  1. Gejala Klinis
Gejala klinis pada babi yang terinfeksi umumnya tidak menunjukkan gejala klinis sama sekali. Sistiserkus terdapat di otot, otak, hati dan jantung (CFSPH 2005). Gejala klinis pada manusia umumnya bersifat asimptomatis, namun pada sebagian kasus pasien akan mengalami rasa sakit pada perut, diare, pada balita sebagian pasien mengalami muntah, diare, demam dan penurunan berat badan (CFSPH 2005). Gejala klinis dipengaruhi oleh jumlah dan lokasi larva.
Gambar 1. Kaki penderita Taenisis
Gambar 2. Mata Penderita Taeniasis
Infeksi Taenia ke manusia dapat melalui makanan yaitu mengonsumsi daging babi atau sapi yang terinfeksi Taenia yang tidak dimasak sempurna atau mentah (CDC 2013). Infeksi sistiserkosis akan menyebabkan gejala klinis pada saluran pencernaan, namun apabila mengkonsumsi sayuran atau makanan yang tercemar telur Taenia maka cacing tersebu akan tumbuh dan berkembang menjadi sistiserkosis yang terdapat di otot. (EC 2000). Babi dapat terinfeksi akibat mengkonsumsi pakan yang tercemar telur cacing atau memakan feses babi yang terinfeksi (OIE 2014).
  1. Siklus hidup
Untuk kelangsungan hidupnya cacing Taenia spp. memerlukan 2 induk semang yaitu induk semang  definitif (manusia) dan induk semang perantara (sapi untuk T. saginatadan babi untuk T. solium). T.saginatatidak secara langsung ditularkan dari manusia ke manusia, akan tetapi untuk T.soliumdimungkinkan bisa ditularkan secara langsung antar manusia yaitu melalui telur dalam tinja manusia yang terinfeksi langsung ke mulut penderita sendiri atau orang lain.
Di dalam usus manusia yang menderita Taeniasis (T. saginata) terdapat proglotid yang sudah masak (mengandung embrio). Apabila telur tersebut keluar bersama feses dan termakan oleh sapi, maka di dalam usus sapi akan tumbuh dan berkembang menjadi onkoster(telur yang mengandung larva). Larva onkostermenembus usus dan masuk ke dalam pembuluh darah atau pembuluh limpa, kemudian sampai ke otot/daging dan membentuk kista yang disebut C. bovis (larva cacing T. saginata). Kista akan membesar dan membentuk gelembung yang disebut sistiserkus.
Manusia akan tertular cacing ini apabila memakan daging sapi mentah atau setengah matang. Dinding sistiserkus akan dicerna di lambung sedangkanlarva dengan skoleks menempel pada usus manusia. Kemudian larva akan tumbuh menjadi cacingdewasayangtubuhnya bersegmen disebut proglotid yang dapat menghasilkan telur. Bila proglotid masak akan keluar bersama feses, kemudian termakan oleh sapi. Selanjutnya, telur yang berisi embrio tadi dalam usus sapi akan menetas menjadi larva onkoster. Setelah itu larva akan tumbuh dan berkembang mengikuti siklus hidup seperti di atas. Siklus hidup T. soliumpada dasarnya sama dengan siklus hidup T. saginata, akan tetapi induk semang perantaranya adalah babi dan manusia akan terinfeksi apabila memakandaging babi yang mengandung kista dan kurang matang/tidak sempurna memasaknyaatau tertelan telur cacing.T. saginatamenjadi dewasa dalam waktu10–12 minggudan T.solium dewasa dalam waktu 5–12 minggu (OIE,2005).Telur T. solium dapat bertahan hidup di lingkungan (tidaktergantung suhu dan kelembaban) sampai beberapa minggu bahkan bisa bertahan sampai beberapa bulan. [3]

  1. Pengobatan dan Pencegahan Taeniasis
  1. Diagnosis Taeniasis
Diagnosis Taeniasis bisa dilakukan dengan menemukan dan mengidentifikasi proglotid atau telur cacing dalam feses dibawah mikroskop. Telur cacing Taeniaberbentuk spherical, berwarna coklat dan mengandung embrio. Telur cacing ini bisa ditemukan di feses dengan pemeriksaan menggunakan metode uji apung. Proglotid Taenia dapat dibedakan dari cacing pita lainnya dengan cara membedakan morfologinya. Cacing Taenia juga bisa diidentifikasi berdasarkan skoleks dan proglotidnya. Untuk diagnosis sistiserkosissangat sulit dilakukan pada hewan hidup. Pada hewan kecil, diagnosis dilakukan dengan Magnetic Resonance Imaging (MRI) untuk melihat adanya kista yang sudah mengalami kalsifikasi, sedangkan, pada hewan besar biasanya dilakukan secara post mortemdengan melakukan pemeriksaan daging. Sistiserkus kadang-kadang dapat dideteksi pada lidah babi atau sapi dengan melakukan palpasi akan teraba benjolan/nodul di bawah jaringan kulit atau intramuskular. (GONZALEZ et al., 2001).
Pada manusia, diagnosis Taeniasis dilakukan selain dengan menemukan telur cacing atau proglotid dalam feses, juga bisa dilakukan dengan cara pemeriksaan serologi yaitu dengan ELISA, Enzyme-linked Immunoelectro Transfer Blot (EITB), Complement fixation dan haemagglutinationdan PCR (Polymerase Chain Reaction) (OIE, 2005).Sedangkan, diagnosis sistiserkosis dilakukan dengan pemeriksaan Computed Tomography (CT) Scan dan MRI untuk mengidentifikasi adanya sistiserkus dalam otak. Kistayang sudah mati atau mengalami kalsifikasi dalam daging/jaringan bisa terdeteksi dengan pemeriksaan X-Ray. Biopsi juga bisadilakukan untuk memeriksa adanya benjolan/kista di bawah jaringan kulit. Diagnosis secara serologi digunakan juga untuk mendeteksi sistiserkosis pada ternak dan ELISA merupakan uji yang paling banyak digunakan (CHO et al., 1992; YONG et al., 1993).
  1. Upaya Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Taeniasis
Untuk mencegah Taeniasis pada manusia, dapat dilakukan dengan menghindari memakan daging yang kurang matang, baik daging babi (untuk T. solium) maupun daging sapi (untuk T. saginata). Daging yang terkontaminasi harus dimasak dahulu dengan suhu di atas 56°C. Selain itu, dengan membekukan daging terlebih dahulu,dapatmengurangi risiko penularan penyakit. Menurut FLISSERet al. (1986),daging yang direbus dan dibekukan pada suhu -20°C dapat membunuh sistiserkus. Sistiserkus akanmati pada suhu -20°C, tetapi pada suhu 0–20°C akan tetap hidup selama 2 bulan, dan pada suhu ruang akan tahan selama 26 hari Pengobatan Taeniasis pada hewan bisa dilakukan dengan pemberian obat cacing praziquantel, epsiprantel, mebendazole, febantel dan fenbendazole. Demikian juga untuk pengobatan Taeniasis pada manusia, pemberian obat cacing praziquantel, niclosamide, buclosamide atau mebendazole dapat membunuh cacing dewasa dalam usus. Adapun sistiserkosis pada hewan bisa diobati dengan melakukan tindakan operasi (bedah). Berdasarkan laporan dari OIE (2005), hanya sedikit sekali informasi tentang penggunaan obat cacing terhadap penyakit sistiserkosis pada hewan. OIE (2008) melaporkan bahwa pengobatan dengan albendazole dan oxfendazole pada sapi dan babi yang terinfeksi T. saginata dan T. soliumkistanya mengalami degenerasi.


BAB III
PENUTUP
  1. Kesimpulan
Taeniasis adalah penyakit cacing pita yang disebabkan oleh cacing Taeniadewasa, sedangkan sistiserkosis adalah penyakit pada jaringan lunak yang disebabkan oleh larva dari salah satu spesiescacing Taenia.Induk semang definitif dari T. saginata, T. solium danT. asiaticahanya manusia, kecuali T.soliumdan T. asiaticamanusia juga berperan sebagai induk semang perantara. Sedangkan, babi adalah induk semangperantara untuk T. soliumdan sapi adalah induk semang perantara untuk T. saginata. Adapun induk semang definitif dari cacing Taenia selain ketiga spesies tersebut adalah hewan carnivora(anjing/kucing).
Penularan Taeniasis melalui makanan yaitu memakan daging yang mengandung larva, baik yang terdapat pada daging sapi (C. bovis) ataupun daging babi (C. celluloseatau C. vicerotropika). Pemeriksaan feses dilakukan untuk menemukan adanya telur cacing atau proglotidpada penderita Taeniasis terutama pada manusia. Pencegahan penyakit dapat dilakukan dengan menghilangkan sumber infeksi dengan mengobati penderita Taeniasis dan menghilangkan kebiasaan memakan daging setengah matang atau mentah.
Pemeriksaan daging oleh dokter hewan atau mantri hewandiRumah Potong Hewan (RPH)perlu dilakukan, sehingga daging yang mengandung kista tidak sampai dikonsumsi masyarakat. Selain itu, ternak sapi atau babi dipelihara pada tempat yang tidak tercemar atau dikandangkan sehingga tidak dapat berkeliaran





  1. Saran
1.      Masyarakat hendaknya lebih berhati-hati dalam mengkonsumsi daging terutama daging sapi dan babi.
2.      Pemeritah hendaknya terus mengawasi peredaran daging sapid an melakukan beberapa upaya seperti infeksi mendadak untuk memeriksa apakah pada daging sapi di pasaran mengandung cacing hati yang membahayakan kesehatan manusia.



DAFTAR PUSTAKA

Zulkoni, Akhsin. 2011. Parasitologi untuk Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan. Yogyakrta: NuhaMedika.
Saridewi, Rismayani, Dr.drh. 2014. Emerging Parasit pada Daging. Bogor: Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Produk Hewan.
Estuningsih, Endah Sawitri. 2009. Taeniasis dan Sistiserkosis merupakan Penyakit  Zoonosis Parasiter. Makalah tidak diterbitkan. Balai Besar Penelitian Veteriner, Bogor.
MARGONO,S.S.,A.ITO,M.O.SATO,M.OKAMOTO,R.SUBAHAR,H.YAMASAKI,A.HAMID,T.WANDRA,W.H.PURBA,K.KANAYA,M.ITO,P.S.CRAIGand T.SUROSO. 2003. Taenia soliumtaeniasis/cysticercosis in Papua, Indonesia in 2001:Detection of human worm carriers. J. Helminthol. 77:39–42.
SUBAHAR, R., A. HAMID and W. PURBA. 2001. Taenia solium infection in Irian Jaya (West Papua), Indonesia: A pilot serological survey of human and porcine cysticercosis in Jayawijaya District. Trans. of the Royal Society of Trop. Med. and Hygiene 95: 388 –390.
YONG, T.S., I.S. YEO, J.H. SEO, J.K. CHANG, J.S. LEE, T.S. KIM and G.H. JEONG. 1993. Serodiagnosis of cysticercosis by ELISA- inhibition test using monoclonal antibodies. Korean J. Parasitol. 31(2): 149 – 156..
GONZALEZ, A.E., C. GAVIDIA, N. FALCON, T. BERNAL, M. VERASTEQUI, H.H. GARCIA, R.H. GILMAN and V.C.W. TSANG. 2001. Protection of pigs with cysticercosis from further infections after treatment with oxfendazole. Am. J. Trop. Med. Hygiene 65: 15 – 18.
Rachim, Mutia. 2015. Taeniasis. http://pertanian.pontianakkota.go.id/artikel/32-taeniasis.html. Diakses 27 November 2015 jam 15.20 WIB




[1] Dr.drh. Rismayani Saridewi. 2014. Emerging Parasit pada Daging. Balai Pengujian Mutu dan Sertifikasi Produk Hewan. Hlm 5
[2] Sarwitri Endah Estuningsih. 2009. Taeniasis Dan Sistiserkosis Merupakan Penyakit Zoonosis Parasiter. Bogor. Balai Besar Veteriner. Hlm 84

[3] Ibid hlm 87-88

Tidak ada komentar:

Posting Komentar